Fenomena pernikahan ulang yang menghasilkan keluarga baru dengan anak tiri sering kali menimbulkan pertanyaan mengenai tanggung jawab seorang ayah tiri terhadap anak dari istri yang dinikahinya. Salah satu persoalan yang mencuat adalah soal nafkah anak tiri. Dalam perspektif Islam, walau secara nasab tidak ada hubungan darah, seorang ayah tiri tetap memiliki tanggung jawab moral dan syar’i untuk menafkahi anak tirinya apabila anak tersebut berada dalam pemeliharaan dan rumah tangganya.
Dalil Al-Qur’an dan Tafsir Ulama
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surah At-Thalaq ayat 6:
“…Dan jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya…”
(QS. At-Thalaq: 6)
Ayat ini menunjukkan bahwa nafkah dan kebutuhan anak adalah kewajiban bagi orang yang bertanggung jawab atas anak tersebut, meski anak itu tidak berasal dari rahim istri yang dinikahi. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa ayat ini mengandung isyarat kewajiban bagi siapa pun yang mengambil hak asuh atau tanggung jawab terhadap seorang anak, untuk memenuhi kebutuhannya.[1]
Hadis Nabi tentang Tanggung Jawab Penafkahan
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Cukuplah seseorang disebut berdosa apabila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”
(HR. Abu Dawud no. 1692 dan Ahmad no. 6902. Hadis shahih)
Imam al-Barbahari, seorang ulama salaf, menjelaskan bahwa menelantarkan nafkah keluarga adalah bagian dari maksiat besar, walaupun mereka bukan dari darah sendiri. Tanggung jawab ini berdasar pada prinsip bahwa siapa yang tinggal serumah dan berada dalam tanggungan, maka ia wajib dipelihara.[2]
Pandangan Ulama Salaf: Ibnu Qudamah
Dalam Al-Mughni, Ibnu Qudamah menyatakan:
“Jika seseorang menikahi seorang wanita yang memiliki anak, lalu anak tersebut ikut tinggal bersamanya, maka ia (ayah tiri) bertanggung jawab atas kebutuhan anak tersebut sebagaimana dia menafkahi istrinya, karena ini termasuk bentuk perlindungan.”[3]
Ibnu Qudamah menekankan bahwa ijarah (upah atau nafkah) dalam konteks pengasuhan tidak harus didasari nasab, tetapi berdasar pada ikatan tanggung jawab. Dalam keluarga yang dibina secara syar’i, ikatan pernikahan membawa kewajiban sosial dan moral, termasuk terhadap anak istri.
Perspektif Ulama Indonesia
Buku Fiqih Kontemporer karya KH. Ahsin Sakho Muhammad menegaskan:
“Anak tiri yang diasuh oleh ayah tirinya, dan berada dalam satu rumah, tetap mendapatkan hak nafkah selama ia dalam pemeliharaan.”[4]
Sementara dalam buku Fikih Keluarga Islam oleh H. Rifa’i dimuat:
“Ayah tiri berkewajiban memberikan nafkah kepada anak tirinya jika anak tersebut masih kecil dan ikut serta dalam keluarga barunya.”[5]
Nilai Moral dan Sosial dari Tanggung Jawab Ayah Tiri
Menafkahi anak tiri bukan hanya perkara hukum, tetapi lebih dari itu adalah perwujudan dari akhlak Islami dan kasih sayang. Allah memerintahkan untuk berlaku baik kepada anak yatim dan anak dalam pemeliharaan:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.”
(QS. Al-Insan: 8)
Ayat ini menunjukkan bahwa berbuat baik kepada anak-anak yang tidak punya perlindungan adalah bagian dari kebaikan yang Allah cintai.Maka, ayah tiri yang menelantarkan anak tiri berarti telah menyimpang dari nilai dasar Islam tentang kasih sayang dan perlindungan.
Penutup: Nafkah adalah Amanah
Dalam Islam, keluarga adalah institusi yang dijaga dengan tanggung jawab dan kasih sayang. Meskipun anak tiri bukan dari darah sendiri, namun kehadirannya dalam rumah tangga membawa amanah bagi ayah tiri untuk merawat dan menafkahinya, selama anak itu tinggal dan berada dalam pemeliharaannya.
Tidak ada alasan untuk tidak memberi nafkah dengan dalih bukan anak kandung. Justru keimanan dan kesempurnaan akhlak seseorang diuji saat ia berlaku adil dan penuh kasih kepada mereka yang tidak memiliki ikatan darah dengannya.
Sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Shalih al-Fauzan:
“Orang yang memelihara anak bukan dari keturunannya, lalu memberikan nafkah, kasih sayang, dan pendidikan kepadanya, maka ia dalam kedudukan yang mulia di sisi Allah.”[6]
Sumber Refrensi :
[1] Ibnu Katsir, 2000, Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, hlm. 516
[2] al-Barbahari, 2004, Syarhus Sunnah, Jakarta: Darul Haq, hlm. 44
[3] Ibnu Qudamah, 1997, Al-Mughni, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Juz 9, hlm. 229
[4] Muhammad, 2011, Fiqih Kontemporer, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 210
[5] Rifa’i, 2013, Fikih Keluarga Islam, Jakarta: Prenada Media, hlm. 147
[6] Al-Fauzan, 2012, Al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, Riyadh: Maktabah al-Imam, hlm. 311