Kritik Terhadap Sistem Pendidikan Yang Masih Berorientasi Pada Penciptaan Pekerja, Bukan Pemikir Atau Pemimpin Masa Depan

Sistem pendidikan di Indonesia selama ini lebih menekankan pada orientasi kerja dibandingkan pengembangan pemikiran kritis dan kepemimpinan. Hal ini tercermin dalam kurikulum yang cenderung mengarahkan siswa untuk menjadi bagian dari sistem produksi ekonomi alih-alih sebagai inisiator perubahan sosial. Sebuah kenyataan yang dikritik keras oleh para ahli dan pemerhati pendidikan.

Sistem pendidikan Indonesia lebih menekankan pada aspek kognitif dan capaian akademik formal ketimbang membentuk karakter dan kemampuan berpikir kritis. Hal ini berakibat pada munculnya generasi yang pandai secara teknis, namun kurang mampu menghadapi tantangan perubahan sosial dan teknologi yang kompleks.[1]

Bukti nyata dari orientasi sistem ini tampak dalam proses rekrutmen kerja yang menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan. Pendidikan diarahkan semata-mata untuk “mengisi lowongan kerja” dibanding membentuk siswa menjadi pemimpin yang mampu menciptakan lapangan kerja. Bahkan, konsep “link and match” yang digaungkan sejak era 1990-an lebih memperkuat relasi antara pendidikan dan dunia industri, bukan dengan pengembangan masyarakat berbasis pengetahuan.[2]

Ketimpangan ini semakin jelas ketika banyak lulusan pendidikan tinggi tidak mampu bersaing dalam ekonomi digital, di mana yang dibutuhkan bukan hanya keterampilan teknis, melainkan juga kreativitas, inovasi, dan kepemimpinan. Pendidikan yang tidak mendorong eksperimen, keberanian berbeda pendapat, dan eksplorasi ide menyebabkan stagnasi dalam inovasi.

Maka, diperlukan perubahan paradigma pendidikan melalui beberapa tahapan transformasi:

  1. Tahap Kesadaran: Menyadari Masalah
    Transformasi harus dimulai dengan kesadaran bahwa sistem pendidikan kita masih sangat industrialistik. Pendidikan semestinya mampu menjadi alat emansipasi sosial, bukan alat pelestari status quo ekonomi. Kesadaran ini harus tertanam di semua level: dari pengambil kebijakan hingga guru di kelas.[3]
  2. Tahap Rekonstruksi Kurikulum
    Kurikulum perlu direvisi untuk memberi ruang lebih besar pada pengembangan karakter, kemampuan berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas. Kurikulum Merdeka yang mulai diterapkan merupakan langkah awal yang positif, namun masih butuh evaluasi mendalam agar tidak hanya mengganti metode belajar, tetapi juga mengubah orientasi hasil belajar.[4]
  3. Tahap Transformasi Guru
    Guru tidak boleh lagi hanya menjadi penyampai materi, tetapi fasilitator dan inspirator. Pelatihan guru perlu difokuskan pada metodologi pembelajaran aktif dan partisipatif. Kualitas pendidikan tidak akan berubah jika kualitas guru tidak diperbaiki secara signifikan.[5]
  4. Tahap Penciptaan Ekosistem Belajar
    Sekolah harus menjadi ruang eksperimentasi sosial dan intelektual, tempat siswa bebas mengekspresikan ide, membuat proyek sosial, bahkan menjalankan bisnis kecil. Pendekatan seperti project-based learning atau service learning perlu menjadi bagian utama, bukan pelengkap.
  5. Tahap Keterlibatan Komunitas
    Sekolah tidak bisa bekerja sendiri. Kolaborasi dengan dunia usaha, komunitas, dan perguruan tinggi perlu dibangun untuk mendukung pendidikan yang membumi namun juga berwawasan global. Pendidikan yang memutus dirinya dari dinamika masyarakat tidak akan pernah relevan.

Transformasi ini memang tidak mudah. Namun, untuk menjawab tantangan abad ke-21, pendidikan tidak bisa lagi hanya menghasilkan “karyawan yang patuh”, tapi pemikir yang visioner dan pemimpin yang solutif. Sebab seperti dikatakan Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah usaha memanusiakan manusia muda.

Dengan memprioritaskan kreativitas, kepemimpinan, dan berpikir kritis dalam sistem pendidikan, Indonesia tidak hanya akan mencetak pekerja, tetapi pembaharu. Dan di tengah disrupsi digital dan sosial, inilah kebutuhan paling mendesak bagi masa depan bangsa.

 

Sumber Refrensi :

[1] Menurut Suyanto,”Menuju Pendidikan Bermutu” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar ,2010)
[2] Nasution, “Pendidikan di Indonesia dalam Perspektif Globalisasi”, Jakarta: Rineka Cipta, 2014
[3] Sudrajat, “Pendidikan Transformatif” (Bandung: Alfabeta, 2017)
[4] Kemendikbudristek, 2022:56, “Pedoman Implementasi Kurikulum Merdeka”, Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan
[5] Mulyasa (2015:87) dalam “Menjadi Guru Profesional” (Bandung: Remaja Rosdakarya)
[6] H.A.R. Tilaar (2012:113) dalam “Perubahan Sosial dan Pendidikan” (Jakarta: Grasindo),

Ustadz. Khaerul Mu'min, M.Pd

Learn More →